Rabu, 11 November 2015

Hujan di 10 November

Selasa, 10 November 2015

Meriahnya perayaan hari pahlawan masih terasa menggema di dalam jiwa. Perlahan lahan bercampur teduhnya rintik hujan. Semakin lama semakin deras mengusir lamunanku kali ini. Suara gemericiknya seolah menggodaku dari luar jendela persinggahanku. Langit menangis. Sedih? Haru? Atau senang?

Ku persembahkan rangkaian sajak ini untuk senja, hujan, dan secangkir kopi yang menemaniku kali ini. Serta dirimu yang tak ada di sini, namun selalu terngiang disetiap kata yang lahir dari tarian jemariku. Dan untuk kalian yang singgah dan menyimak, aku tak sedang memikirkan sesuatu ataupun sebuah masalah. Sekali lagi, aku hanya bersajak—

Seketika gairahku muncul untuk menorehkan tinta kembali. Menguntai kata, mengukir sajak, merakit kalimat. Hujan seolah menghipnotisku untuk kembali bercerita padanya. Ia merayuku lewat keteduhannya, dengan kebolehannya meminta mentari mengalah untuk awan. Ia merayuku lewat kemegahan sinarnya, dengan petir yang menyorot kilat. Ia merayuku lewat setiap tetesan air yang tersentuh tanah, menyebarkan aroma hujan— aroma yang telah dan selalu menjadi favoritku. Ia merayuku lewat nada nada yang dimainkannya, dengan setiap tetes yang memantul dan mengalun indah.

Dan hal yang paling ku benci, angin semilir menggelitik tulangku, mengingatkanku tentang kehangatan genggamannya. Seolah membujukku untuk memperbolehkan dirinya singgah di salah satu kalimat dalam sajak sajakku. Ya, dan itu selalu berhasil membuatku menorehkan kata demi kata tentang dirinya.

Entah— aku hanya bisa berkata aku suka semua hal itu. Jika kau tanya mengapa, sekali lagi aku pun hanya dapat menjawab “entah”.
Yang jelas— hujan, senja, kopi, semangat dan kegembiraan 10 November, serta dirimu adalah rangkaian yang "seharusnya" akan menjadi favoritku. Semoga dirimu tetap menjadi bagian dari tawaku, agar rangkaian itu tak akan terus menjadi “seharusnya”.

Penggemar hujanNya,

Derina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar