Rabu, 18 November 2015

Salam Untukmu, Neptunus

Hai Neptunus,
Lama tak menjumpaimu, bahkan tuk sekedar menyebut namamu. Maaf.

Tahukah?
Tiba tiba alunan debur ombakmu terlintas di sela-sela pikiranku. Maaf karena ku hanya merindumu dalam diam, sembari membayangkan betapa tenangnya berada di rengkuhanmu. Bersama sinar rembulan yang sayup sayup terlihat di antara agungnya sang surya. Berteman kicauan burung yang menari di atas kerudungku yang tertiup anginmu. Ah, aku rindu suasana pantai dengan pasir putihnya yang lembut dan hangat. Hangat karena paparan matahari yang terserap.

Aku bahkan rindu untuk menangis. Gila bukan? Ada seorang gadis yang merindukan menangis, bukannya bahagia.
Aku rindu menangis di antara sunyinya persembunyianmu. Hanya merasa tenang, walaupun segala keluh kesalku hanya terjawab dengan bahasa bahasa alam yang tak pernah ku pelajari, tak pernah ada dalam memori otakku, dan tentu saja tak bisa ku mengerti.
Aku rindu melihat pantulan sinar rembulan di hamparan air asinmu yang menggelap karena menyesuaikan diri dengan sayupnya warna langit malam. Berteman dingin yang menusuk tulang.

Percaya tentangmu mungkin menjadi hal gila. Namun ada tidaknya dirimu, aku percaya kau memang selalu menjaga ciptaan-Nya, kerasnya karang, kokohnya deburan ombak, dan megahnya pantai yang selalu dan selalu ku rindukan.

Sampaikan salamku pada semua!

Gadis yang selalu merindumu,


Derina

Jumat, 13 November 2015

Untuk Kau yang Merindu

Dia kembali lagi, Der!
Dia bahkan tersenyum kepadaku. Aku harus apakan perasaan ini?
***
Bara kemarahan masih membakar, menghangatkan tetesan air mata yang terus keluar dari sudut matanya. Aku dapat merasakan tatapan kesedihan dari wajah sayunya, lengkap dengan bekas aliran air mata yang masih belum kering. Bola matanya mencoba menatapku susah, terbias genangan air mata di bulu matanya, dan kesembaban yang makin terlihat jelas. Mulutnya masih melantunkan isakan isakan kecil sambil terus bercerita. Satu kata, dua kata, ia coba ucapkan walau dengan getaran.

Aku memang tak ikut merasakan perihnya. Namun menyembuhkan robekan di relung hatinya membuatku ikut bergidik ngeri. Aku bukan siapa siapa di sini, tapi dia temanku- temanku yang kau buat menangis. Tak bolehkah kemarahan juga membuncah di dadaku?

Ia gadis yang tabah. Memendam rasa dibalik tawa candanya. Sendiri. Ia menyimpannya sendiri tanpa pernah mau berucap. Tak jarang ku mencemoohnya, bukan karena ku ingin menambah dalam luka di hatinya, tapi ku ingin dia terlatih bukannya terus tertatih. Aku ingin dia terlatih dengan segala resiko yang ada dalam pilihannya. Tanpa harus ada isakan dan air mata lagi.

Dia bahkan tak tahu siapa yang menyakiti dan disakiti di sini. Yang ia tahu hanyalah “aku seorang gadis yang jatuh cinta pada pria yang tak pernah mencintaiku. Aku seorang gadis, aku tak bisa mengungkapkan ini dahulu”.

Berpindah ke lain hati? Ku pikir dia sudah bosan mencobanya. Dan dia juga bosan menelan kegagalannya. Pindah ke lain hati seakan perjalanan yang butuh bermil-mil jaraknya, dan berjam-jam waktunya. Jangan kira ia tak pernah mencoba, ia bahkan sempat menempuh setengah perjalanannya. Namun seulas senyum dari prianya seolah meruntuhkan perisai yang telah ia bangun begitu lama.

Rona itu kembali terlihat di wajahnya. Rona merah yang diselingi senyuman tipis setiap ia membicarakan prianya padaku. Rona merah yang otomatis muncul ketika ia berpapasan dengan prianya. Hei, bahkan mereka hanya saling menyapa. Namun itu bisa membuat gadis ini tersenyum sepanjang hari. Dalam hati aku hanya bergumam, jadi ini jatuh cinta.

Dan inilah pilihannya. Menanti prianya walau tak tahu apakah cerita ini berakhir bahagia atau bercucuran air mata. Yang perlu kau ingat hanyalah aku akan selalu bersedia membawakan lentera untuk penerangmu, aku selalu bersedia mendengar segala keluh kesalmu, walau terkadang jengkel dengan dirimu yang terkesan bodoh karena mengulangi kesalahan yang sama, namun aku akan selalu ada untuk menjadikanmu sesaat lupa tentang segala masalahmu.

Pendengar setiamu,

Derina

Rabu, 11 November 2015

Hujan di 10 November

Selasa, 10 November 2015

Meriahnya perayaan hari pahlawan masih terasa menggema di dalam jiwa. Perlahan lahan bercampur teduhnya rintik hujan. Semakin lama semakin deras mengusir lamunanku kali ini. Suara gemericiknya seolah menggodaku dari luar jendela persinggahanku. Langit menangis. Sedih? Haru? Atau senang?

Ku persembahkan rangkaian sajak ini untuk senja, hujan, dan secangkir kopi yang menemaniku kali ini. Serta dirimu yang tak ada di sini, namun selalu terngiang disetiap kata yang lahir dari tarian jemariku. Dan untuk kalian yang singgah dan menyimak, aku tak sedang memikirkan sesuatu ataupun sebuah masalah. Sekali lagi, aku hanya bersajak—

Seketika gairahku muncul untuk menorehkan tinta kembali. Menguntai kata, mengukir sajak, merakit kalimat. Hujan seolah menghipnotisku untuk kembali bercerita padanya. Ia merayuku lewat keteduhannya, dengan kebolehannya meminta mentari mengalah untuk awan. Ia merayuku lewat kemegahan sinarnya, dengan petir yang menyorot kilat. Ia merayuku lewat setiap tetesan air yang tersentuh tanah, menyebarkan aroma hujan— aroma yang telah dan selalu menjadi favoritku. Ia merayuku lewat nada nada yang dimainkannya, dengan setiap tetes yang memantul dan mengalun indah.

Dan hal yang paling ku benci, angin semilir menggelitik tulangku, mengingatkanku tentang kehangatan genggamannya. Seolah membujukku untuk memperbolehkan dirinya singgah di salah satu kalimat dalam sajak sajakku. Ya, dan itu selalu berhasil membuatku menorehkan kata demi kata tentang dirinya.

Entah— aku hanya bisa berkata aku suka semua hal itu. Jika kau tanya mengapa, sekali lagi aku pun hanya dapat menjawab “entah”.
Yang jelas— hujan, senja, kopi, semangat dan kegembiraan 10 November, serta dirimu adalah rangkaian yang "seharusnya" akan menjadi favoritku. Semoga dirimu tetap menjadi bagian dari tawaku, agar rangkaian itu tak akan terus menjadi “seharusnya”.

Penggemar hujanNya,

Derina

Hai, aku kembali.

Kuucap salam lagi pada laman usang yang telah lama tak ku urus. Mungkin sudah dua tahun?
Maaf sempat meninggalkanmu dengan kehampaan, tanpa sedikitpun butiran kata. Telah lama ku putuskan untuk menghapus segala torehan kata ku di sini, yang dahulu masih penuh cerita konyol dari seorang remaja sekolah menengah pertama.

Tak sekali duakali terpikir keinginan untuk rutin menulis lagi. Namun entah mengapa hal itu tak segera terwujud. Hingga akhirnya, semangat itu muncul lagi. Dan sekarang, bersiaplah dengan kedatanganku lagi!

Tak maukah kau mengucap selamat datang lagi padaku?
Aku kembali, dengan sejuta cerita yang ingin ku ungkap. Oh ya, aku telah resmi melewati separuh perjalanan menjadi "anak-putih-abu", jadi percayalah, cerita ku takkan habis kau baca semalaman.

Intinya, Derina telah kembali!
Di laman yang sama, yang telah genap berusia empat tahun, yang ku rintis sejak tahun 2011.