Selasa, 29 Desember 2015

Ajari

Ku bertanya pada mereka.
Bagaimana rasanya dikejar?

Merka bertanya padaku.
Maksudmu?

Maksudku, bagaimana rasanya diperjuangkan, dirayu ketika kau marah, diberi beribu kata maaf mungkin?

Mereka menjawab.
Kami memang sering bertengkar karena hal sepele. Sebenarnya aku tahu jika tak sepenuhnya salahnya. Tapi aku seorang perempuan, aku pantas marah ketika ia salah bukan? Tapi tak lama kita pasti kembali ke awal. Karena tingkah lucunya ketika merayuku, jangan lupakan wajahnya yang panik ketika aku tak membalas pesannya, serta kata maaf yang selalu aku balas dengan kediaman ketika bertemu dengannya. Tapi aku hanya ingin tahu sejauh mana ia berjuang untukku. Itu tak lama, aku pasti tak kuat menahan tawa, dan setelah itu kami tertawa bersama dan dengan mudahnya melupakan masalah kami. Pertengkaran kami diakhiri dengan aku yang memaafkannya, dan aku yang juga meminta maaf padanya.

Mereka bertanya padaku.
Lalu kau? Mengapa bertanya?

Aku menjawab.
Ternyata cerita kita sama, yang membedakan hanya aku yang biasa melakukannya
 Ya— aku yang selalu panik. Kau tahu? Aku bahkan sangat iri pada mu, pada kalian. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya dikejar, diperjuangkan, diberi kata maaf, sungguh. Apa memang aku yang salah ya? Tapi apa tak bisa sekali saja aku tak salah?

Mereka bertanya.
Mengapa kau tak marah saja?

Aku menjawab.
Aku tak tahu. Aku ingin marah, tapi tak bisa. Aku ingin marah, tapi tak tahu kepada siapa. Aku ingin marah, tapi yang muncul hanya isakan dan air mata. Aku selalu membenci seorang queen drama, tapi aku merasa aku lebih dari mereka, hahaha. Aku sudah terlalu jauh, aku sudah terlalu tinggi. Rasanya sakit jika jatuh.

Aku bahkan bertanya.
Bisakah kalian mengajariku caranya marah?

Rabu, 23 Desember 2015

Sajak 'tuk Cinta

***
I don’t wanna steal your freedom
I don’t wanna change your mind
I don’t have to make you love me
I just wanna take your time
(Sam Hunt - Take Your Time)
***
“Bukankah ini indah, Do?”, tanyanya tanpa melepas tautan jemari kami. Aku bisa melihat mata bulatnya yang sedang menyorotku dari sela sela sudut mata. Ku balas pertanyaannya dengan gumaman dan sedikit anggukan untuk mempertegas.
Pandanganku mulai terbang menerawang ke depan, lalu terhempas lagi kebelakang, mengenang memori yang masih terngiang. Menyadarkanku akan suatu hal yang selalu ku pikirkan, namun tak pernah menemui penyelesaian. Pikiranku bergulat, memikirkan satu nama yang berhasil membuatku seperti orang gila. Cinta.
Cinta? Persetan dengan kata itu. Substansi semacam apa sebenarnya dia, hingga mampu membutakan segalanya. Zat apa sebenarnya dia, hingga mampu memabukkanku, membawaku terbang dalam kesenangan- lalu membiarkanku terjun dan terpuruk dalam kegelapan. Tuhan, aku benar benar mencintai Cinta.
“Redo!”, bentaknya dengan wajah yang cemberut, lengkap dengan bibir manyun dan pipi menggembung.
Aku gila? Ya.
Mengapa? Karena aku selalu melangkah kembali setelah hatiku yakin untuk pergi. Setelah hatiku cukup terluka untuk berpisah. Setelah air mataku cukup terkuras karena perbuatannya.
Lalu mengapa aku kembali? Hei, aku pun tak tahu. Aku bahkan telah mengucap kata menyerah pada Zeus, tapi gejolak diri ini selalu menarikku kembali kepadanya. Kepada Cinta yang aku cinta. Sudah ku bilang bukan, substansi ini membuatku buta. B u t a. Akan segalanya.
“Kau tahu, aku bahkan merasa iri padamu.”, ucapku pada Cinta sembari menatap sang rembulan.
“Iri? Padaku? Kenapa?”, tanyanya bingung.
Aku meringis sambil mencubit hidungnya. “Karena kau tak harus takut untuk menyakitiku. Karena pada akhirnya, aku akan kembali lagi padamu. Aku iri, karena kau tak perlu berusaha merayuku ketika aku marah dan mendiamkanmu, karena aku tak bisa marah dan mendiamkanmu. Tapi aku rela. Aku rela kau sakiti. Aku rela kau marahi dan kau diamkan. Bukankah cinta memang perlu pengorbanan? Aku rela, karena aku telah memilih untuk mencintaimu dengan segala resiko yang akan Tuhan berikan kepadaku. Aku tak mau merubah apapun dari dirimu, aku juga tak mau mencuri apapun darimu, aku hanya ingin kita akan terus menjadi kita.”, ulasku lalu memeluknya yang tak kusadari sedang berlinang air mata.
Setahun sudah wanita ini menjadi bagian spesial dalam hidupku. Selama itu pula aku, tidak, maksudku kami harus tegar menghadapi segala kerikil yang Tuhan berikan untuk menguji kami. Aku seseorang yang percaya takdir, jadi, jika kita memang ditakdirkan untuk terus bersama aku yakin ini akan terasa mudah.

Untuk yang tercinta,

            Cinta

Empat Kata dari Ayah

Tujuh belas tahun yang lalu, tepat tanggal 11 Desember 1998, seorang bayi perempuan terlahir ke dunia. Ia tumbuh dewasa dengan penuh cinta, juga penuh air mata.

Aku

Ayah menghadiahiku sebuah nama yang indah, nama yang penuh makna, nama yang berisi doa dari mereka yang menyayangiku. Hingga saking baiknya, aku merasa sedikit terbebani menyandang nama ini.

Derina Anindya Hafidha Puteri

Empat kata yang memiliki filosofi di setiap hurufnya. Derina berasal dari kata “darina” artinya “nama sebuah bunga”. Mungkin ayah dan ibu ingin aku tumbuh menjadi wanita yang elok seperti bunga. Wanita yang masih menebar harum, tak terkecuali kepada orang yang mematahkan tangkainya.

Lalu kenapa jadi Derina? Karena aku lahir di bulan Desember. Jadi, aku setangkai bunga desember? hahaha

Anindya. Kata kedua dalam namaku ini berarti pemelihara. Aku tak tahu, tapi mungkin ini sebabnya aku sangat suka hewan, tumbuhan, dan anak anak.

Hafidha. Hafidha berarti pandai menghafal. Aku percaya, terselip doa dari kedua orang tuaku agar aku menjadi anak yang cerdas. Dan kata terakhir, Puteri, tentu saja karena aku seorang gadis.

Indah bukan hadiah yang ayah berikan kepadaku? Seorang anak perempuan seperti bunga yang lahir pada bulan Desember, seorang pemelihara dan pandai menghafal.

Berkat nama yang ayah berikan, aku tumbuh menjadi gadis Sagitarius yang tangguh. Gadis Sagitarius yang pandai menyembunyikan kesedihannya. Gadis Sagitarius yang Insyaallah akan menjadi pemelihara yang cerdas, seperti yang orangtuaku inginkan.


Terimakasih Ayah

Kamis, 10 Desember 2015

17

Untaian kalimat ini ku tulis sebulan sebelum usiaku bertambah digit lagi. Sebulan sebelum aku genap 17 tahun mencicipi berjuta rasa kehidupan. Mungkin kau menilai ini terlalu cepat untuk menuliskan sesuatu tentang ulangtahunku yang masih sebulan lagi. Tapi kali ini, aku hanya ingin bercerita tentang kado terindah yang telah Allah berikan padaku, bahkan sebelum aku meniup satupun lilin ulangtahunku. Bukan maksudku untuk mendahului, tapi aku hanya takut jika kado ini tak bertahan lama, lalu menghilang sebelum aku sempat berterimakasih kepadanya.

Tahun ini terasa istimewa— karena tanpa sengaja kau datang. Dengan awal tak terduga, hingga berakhir dengan perasaan aneh yang bahkan telah samar di memoriku. Terimakasih, kau berhasil mengembalikannya ke ingatanku. Walaupun dengan goresan dan luka karena berjuang menyebrangi ranjau deminya.
Hari ini ku rajut semua kata kata ini dengan air mata— sungguh. Tengah malam tiba tiba terlintas untuk mempersembahkan sesuatu untukmu di hari ulangtahunku nanti. Ku tulis sekarang karena aku takut Allah tak lama menitipkanmu untuk tertawa bersamaku.

Masih teringat pertama kali kau menghubungiku, takut. Ya, entah mengapa aku begitu takut saat itu. Butuh waktu beberapa menit hanya untuk menjawab pertanyaan yang kau lontarkan kepadaku. "Aku harus jawab apa?" "Apa bahasaku terlalu baku?" "Ah, kenapa terlihat tidak sopan?", aku terus bertanya hal hal bodoh pada diriku sendiri. Hingga semua itu selalu berakhir dengan jawabanku yang seadanya. Lalu tiba tiba kau mengejutkanku dengan langsung berkata "kamu jutek" padaku. Namun dengan sabar kau selalu mencari cari topik untuk kita bicarakan. Hingga entah bagaimana caranya, kami mulai berani untuk bertemu.

Awal pertemuan kami dihiasi dengan kesunyian. Maaf karena aku yang hanya bisa diam dan menunduk saat itu. Saat itu pertama kalinya aku mendengar suaramu secara langsung, dengan jarak tak sampai satu meter dari gendang telingaku. Saat itulah perasaan ini mulai memberontak dan mencoba keluar dari persembunyiannya. Aku masih mengingat bagaimana diriku yang salah tingkah saat berhadapan denganmu. Mungkin kau juga masih ingat betapa konyolnya diriku yang harus berada di belakangmu untuk menutupi kegugupan, dan— wajah "kepitingrebus" ku.

Setelah hari itu, kami makin sering bertemu. Dan seiring berjalannya waktu, aku juga mulai terbiasa. Terbiasa dengan suaranya, terbiasa berbicara dengannya, terbiasa melihat wajahnya, dan terbiasa menghadapi segala tatapan sinis dan juga omongan negatif tentangnya. Kami juga mulai terbiasa menyebut "kita" dalam obrolan kami. Dan aku, makin tak bisa mengendalikan perasaan ini, saat untuk pertama kalinya merasakan genggaman tangannya. Nyaman. Hangat. Menenangkan. Tautan jemarinya telah berhasil menjadi favoritku.

Aku selalu tersenyum saat dia menjelaskan tentang berbagai kisahnya agar aku tak salahpaham. Aku memang cemburu setelah mendengar semua penjelasannya, namun ada hal yang selalu  membuatku melupakan segala kecemburuan itu.

Aku sempat berpikir bahwa aku hanyalah seorang monster yang tiba tiba masuk ke dalam kehidupanmu dan merebutmu dari mereka yang masih mencintaimu. Namun satu kalimat dari sahabatku membuatku tersadar.
"Kamu bertemu dengannya itu kehendak Allah, lagipula kau tak pernah berniat merebutnya dari siapapun."

Terimakasih telah menjadi kado terindah diulang tahunku ini.
Yang jelas— Aku berharap, saat kau membaca ini, kita masih saling tertawa bersama.



Mojokerto, 11 November 2015

Sabtu, 05 Desember 2015

Gadis Kepiting Rebus

Hei gadis, wajahmu memerah lagi.

Tiba tiba ia teringat saat pertama kali ia menyebut nama prianya. Masih terasa tabu di pendengarannya sendiri. Hingga detik terus bergulir bersama musim panas yang mulai tersapa hujan. Sang gadis mulai terbiasa menyebut nama prianya, bahkan tak sadar ia mulai bercerita tentang prianya dengan menggebu, senyum merekah, dan wajah bahagia.

Suatu hari, mereka akhirnya bertemu, dengan kesenyapan yang terus muncul di antara pembicaraan kecil mereka. Gadis itu bahkan tak bisa berucap, apalagi menatap bola mata atau sekedar memandang wajah sang pria. Masih dengan kepala tertunduk dan pipi merona, mereka terus berbicara- maksudku, berdiri dan diam mencari topik pembicaraan yang akhirnya akan tetap terasa aneh bagi mereka. Tak lupa, tatapan sembunyi sembunyi dari orang di dekatnya ikut menambah suasana aneh siang itu. Pertemuan pertama mereka sukses membuat sang gadis semakin bertanya tanya. Sebenarnya aku dan dia itu apa dan akan jadi apa?  Sang gadis mulai berani membayangkan wajah prianya, lalu merangkai drama kehidupannya sendiri dengan imajinasi liarnya yang sulit dikendalikan, tak lupa diselingi senyum kecil dan wajah merah yang terus muncul tanpa sadar.

Mereka semakin dekat, hingga sang gadis mulai terbiasa menatapnya dan mendengar nyanyian yang berpadu dengan tiap melodi yang dimainkan prianya. Semua komponen di prianya membuat sang gadis buta, semua itu telah menjadi favoritnya. Semua itu berhasil membuatnya seperti kepiting rebus saat berdekatan dengan prianya.

Namun hal favoritnya yang terakhir adalah hal baru yang berhasil membuat hati nya bergetar, jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya kembali memerah bahkan hanya dengan membayangkannya.


Genggaman tangan sang pria.


Tautan jemarinya yang hangat selalu membuat sang gadis salah tingkah dan membisu. Genggamannya selalu berhasil membawa ketenangan dan meredam setiap kemarahan.

Kau memerah lagi gadis! Lihat, bahkan kau hanya membayangkannya, dan wajahmu sekarang lebih merah dari kepiting rebus!

Teruntuk pria sang gadis.

Rabu, 18 November 2015

Salam Untukmu, Neptunus

Hai Neptunus,
Lama tak menjumpaimu, bahkan tuk sekedar menyebut namamu. Maaf.

Tahukah?
Tiba tiba alunan debur ombakmu terlintas di sela-sela pikiranku. Maaf karena ku hanya merindumu dalam diam, sembari membayangkan betapa tenangnya berada di rengkuhanmu. Bersama sinar rembulan yang sayup sayup terlihat di antara agungnya sang surya. Berteman kicauan burung yang menari di atas kerudungku yang tertiup anginmu. Ah, aku rindu suasana pantai dengan pasir putihnya yang lembut dan hangat. Hangat karena paparan matahari yang terserap.

Aku bahkan rindu untuk menangis. Gila bukan? Ada seorang gadis yang merindukan menangis, bukannya bahagia.
Aku rindu menangis di antara sunyinya persembunyianmu. Hanya merasa tenang, walaupun segala keluh kesalku hanya terjawab dengan bahasa bahasa alam yang tak pernah ku pelajari, tak pernah ada dalam memori otakku, dan tentu saja tak bisa ku mengerti.
Aku rindu melihat pantulan sinar rembulan di hamparan air asinmu yang menggelap karena menyesuaikan diri dengan sayupnya warna langit malam. Berteman dingin yang menusuk tulang.

Percaya tentangmu mungkin menjadi hal gila. Namun ada tidaknya dirimu, aku percaya kau memang selalu menjaga ciptaan-Nya, kerasnya karang, kokohnya deburan ombak, dan megahnya pantai yang selalu dan selalu ku rindukan.

Sampaikan salamku pada semua!

Gadis yang selalu merindumu,


Derina

Jumat, 13 November 2015

Untuk Kau yang Merindu

Dia kembali lagi, Der!
Dia bahkan tersenyum kepadaku. Aku harus apakan perasaan ini?
***
Bara kemarahan masih membakar, menghangatkan tetesan air mata yang terus keluar dari sudut matanya. Aku dapat merasakan tatapan kesedihan dari wajah sayunya, lengkap dengan bekas aliran air mata yang masih belum kering. Bola matanya mencoba menatapku susah, terbias genangan air mata di bulu matanya, dan kesembaban yang makin terlihat jelas. Mulutnya masih melantunkan isakan isakan kecil sambil terus bercerita. Satu kata, dua kata, ia coba ucapkan walau dengan getaran.

Aku memang tak ikut merasakan perihnya. Namun menyembuhkan robekan di relung hatinya membuatku ikut bergidik ngeri. Aku bukan siapa siapa di sini, tapi dia temanku- temanku yang kau buat menangis. Tak bolehkah kemarahan juga membuncah di dadaku?

Ia gadis yang tabah. Memendam rasa dibalik tawa candanya. Sendiri. Ia menyimpannya sendiri tanpa pernah mau berucap. Tak jarang ku mencemoohnya, bukan karena ku ingin menambah dalam luka di hatinya, tapi ku ingin dia terlatih bukannya terus tertatih. Aku ingin dia terlatih dengan segala resiko yang ada dalam pilihannya. Tanpa harus ada isakan dan air mata lagi.

Dia bahkan tak tahu siapa yang menyakiti dan disakiti di sini. Yang ia tahu hanyalah “aku seorang gadis yang jatuh cinta pada pria yang tak pernah mencintaiku. Aku seorang gadis, aku tak bisa mengungkapkan ini dahulu”.

Berpindah ke lain hati? Ku pikir dia sudah bosan mencobanya. Dan dia juga bosan menelan kegagalannya. Pindah ke lain hati seakan perjalanan yang butuh bermil-mil jaraknya, dan berjam-jam waktunya. Jangan kira ia tak pernah mencoba, ia bahkan sempat menempuh setengah perjalanannya. Namun seulas senyum dari prianya seolah meruntuhkan perisai yang telah ia bangun begitu lama.

Rona itu kembali terlihat di wajahnya. Rona merah yang diselingi senyuman tipis setiap ia membicarakan prianya padaku. Rona merah yang otomatis muncul ketika ia berpapasan dengan prianya. Hei, bahkan mereka hanya saling menyapa. Namun itu bisa membuat gadis ini tersenyum sepanjang hari. Dalam hati aku hanya bergumam, jadi ini jatuh cinta.

Dan inilah pilihannya. Menanti prianya walau tak tahu apakah cerita ini berakhir bahagia atau bercucuran air mata. Yang perlu kau ingat hanyalah aku akan selalu bersedia membawakan lentera untuk penerangmu, aku selalu bersedia mendengar segala keluh kesalmu, walau terkadang jengkel dengan dirimu yang terkesan bodoh karena mengulangi kesalahan yang sama, namun aku akan selalu ada untuk menjadikanmu sesaat lupa tentang segala masalahmu.

Pendengar setiamu,

Derina

Rabu, 11 November 2015

Hujan di 10 November

Selasa, 10 November 2015

Meriahnya perayaan hari pahlawan masih terasa menggema di dalam jiwa. Perlahan lahan bercampur teduhnya rintik hujan. Semakin lama semakin deras mengusir lamunanku kali ini. Suara gemericiknya seolah menggodaku dari luar jendela persinggahanku. Langit menangis. Sedih? Haru? Atau senang?

Ku persembahkan rangkaian sajak ini untuk senja, hujan, dan secangkir kopi yang menemaniku kali ini. Serta dirimu yang tak ada di sini, namun selalu terngiang disetiap kata yang lahir dari tarian jemariku. Dan untuk kalian yang singgah dan menyimak, aku tak sedang memikirkan sesuatu ataupun sebuah masalah. Sekali lagi, aku hanya bersajak—

Seketika gairahku muncul untuk menorehkan tinta kembali. Menguntai kata, mengukir sajak, merakit kalimat. Hujan seolah menghipnotisku untuk kembali bercerita padanya. Ia merayuku lewat keteduhannya, dengan kebolehannya meminta mentari mengalah untuk awan. Ia merayuku lewat kemegahan sinarnya, dengan petir yang menyorot kilat. Ia merayuku lewat setiap tetesan air yang tersentuh tanah, menyebarkan aroma hujan— aroma yang telah dan selalu menjadi favoritku. Ia merayuku lewat nada nada yang dimainkannya, dengan setiap tetes yang memantul dan mengalun indah.

Dan hal yang paling ku benci, angin semilir menggelitik tulangku, mengingatkanku tentang kehangatan genggamannya. Seolah membujukku untuk memperbolehkan dirinya singgah di salah satu kalimat dalam sajak sajakku. Ya, dan itu selalu berhasil membuatku menorehkan kata demi kata tentang dirinya.

Entah— aku hanya bisa berkata aku suka semua hal itu. Jika kau tanya mengapa, sekali lagi aku pun hanya dapat menjawab “entah”.
Yang jelas— hujan, senja, kopi, semangat dan kegembiraan 10 November, serta dirimu adalah rangkaian yang "seharusnya" akan menjadi favoritku. Semoga dirimu tetap menjadi bagian dari tawaku, agar rangkaian itu tak akan terus menjadi “seharusnya”.

Penggemar hujanNya,

Derina

Hai, aku kembali.

Kuucap salam lagi pada laman usang yang telah lama tak ku urus. Mungkin sudah dua tahun?
Maaf sempat meninggalkanmu dengan kehampaan, tanpa sedikitpun butiran kata. Telah lama ku putuskan untuk menghapus segala torehan kata ku di sini, yang dahulu masih penuh cerita konyol dari seorang remaja sekolah menengah pertama.

Tak sekali duakali terpikir keinginan untuk rutin menulis lagi. Namun entah mengapa hal itu tak segera terwujud. Hingga akhirnya, semangat itu muncul lagi. Dan sekarang, bersiaplah dengan kedatanganku lagi!

Tak maukah kau mengucap selamat datang lagi padaku?
Aku kembali, dengan sejuta cerita yang ingin ku ungkap. Oh ya, aku telah resmi melewati separuh perjalanan menjadi "anak-putih-abu", jadi percayalah, cerita ku takkan habis kau baca semalaman.

Intinya, Derina telah kembali!
Di laman yang sama, yang telah genap berusia empat tahun, yang ku rintis sejak tahun 2011.