Ku bertanya pada mereka.
Bagaimana rasanya dikejar?
Merka bertanya padaku.
Maksudmu?
Maksudku, bagaimana rasanya diperjuangkan, dirayu ketika kau marah, diberi beribu kata maaf mungkin?
Mereka menjawab.
Kami memang sering bertengkar karena hal sepele. Sebenarnya aku tahu jika tak sepenuhnya salahnya. Tapi aku seorang perempuan, aku pantas marah ketika ia salah bukan? Tapi tak lama kita pasti kembali ke awal. Karena tingkah lucunya ketika merayuku, jangan lupakan wajahnya yang panik ketika aku tak membalas pesannya, serta kata maaf yang selalu aku balas dengan kediaman ketika bertemu dengannya. Tapi aku hanya ingin tahu sejauh mana ia berjuang untukku. Itu tak lama, aku pasti tak kuat menahan tawa, dan setelah itu kami tertawa bersama dan dengan mudahnya melupakan masalah kami. Pertengkaran kami diakhiri dengan aku yang memaafkannya, dan aku yang juga meminta maaf padanya.
Mereka bertanya padaku.
Lalu kau? Mengapa bertanya?
Aku menjawab.
Ternyata cerita kita sama, yang membedakan hanya aku yang biasa melakukannya
Ya— aku yang selalu panik. Kau tahu? Aku bahkan sangat iri pada mu, pada kalian. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya dikejar, diperjuangkan, diberi kata maaf, sungguh. Apa memang aku yang salah ya? Tapi apa tak bisa sekali saja aku tak salah?
Mereka bertanya.
Mengapa kau tak marah saja?
Aku menjawab.
Aku tak tahu. Aku ingin marah, tapi tak bisa. Aku ingin marah, tapi tak tahu kepada siapa. Aku ingin marah, tapi yang muncul hanya isakan dan air mata. Aku selalu membenci seorang queen drama, tapi aku merasa aku lebih dari mereka, hahaha. Aku sudah terlalu jauh, aku sudah terlalu tinggi. Rasanya sakit jika jatuh.
Aku bahkan bertanya.
Bisakah kalian mengajariku caranya marah?
Selasa, 29 Desember 2015
Rabu, 23 Desember 2015
Sajak 'tuk Cinta
***
I don’t wanna steal your freedom
I don’t wanna change your mind
I don’t have to make you love me
I just wanna take your time
(Sam Hunt - Take Your Time)
***
“Bukankah
ini indah, Do?”, tanyanya tanpa melepas tautan jemari kami. Aku bisa melihat
mata bulatnya yang sedang menyorotku dari sela sela sudut mata. Ku balas
pertanyaannya dengan gumaman dan sedikit anggukan untuk mempertegas.
Pandanganku
mulai terbang menerawang ke depan, lalu terhempas lagi kebelakang, mengenang
memori yang masih terngiang. Menyadarkanku akan suatu hal yang selalu ku
pikirkan, namun tak pernah menemui penyelesaian. Pikiranku bergulat, memikirkan
satu nama yang berhasil membuatku seperti orang gila. Cinta.
Cinta?
Persetan dengan kata itu. Substansi semacam apa sebenarnya dia, hingga mampu
membutakan segalanya. Zat apa sebenarnya dia, hingga mampu memabukkanku,
membawaku terbang dalam kesenangan- lalu membiarkanku terjun dan terpuruk dalam
kegelapan. Tuhan, aku benar benar mencintai Cinta.
“Redo!”,
bentaknya dengan wajah yang cemberut, lengkap dengan bibir manyun dan pipi
menggembung.
Aku
gila? Ya.
Mengapa?
Karena aku selalu melangkah kembali setelah hatiku yakin untuk pergi. Setelah
hatiku cukup terluka untuk berpisah. Setelah air mataku cukup terkuras karena
perbuatannya.
Lalu
mengapa aku kembali? Hei, aku pun tak tahu. Aku bahkan telah mengucap kata
menyerah pada Zeus, tapi gejolak diri ini selalu menarikku kembali kepadanya.
Kepada Cinta yang aku cinta. Sudah ku bilang bukan, substansi ini membuatku
buta. B u t a. Akan segalanya.
“Kau
tahu, aku bahkan merasa iri padamu.”, ucapku pada Cinta sembari menatap sang
rembulan.
“Iri?
Padaku? Kenapa?”, tanyanya bingung.
Aku
meringis sambil mencubit hidungnya. “Karena kau tak harus takut untuk
menyakitiku. Karena pada akhirnya, aku akan kembali lagi padamu. Aku iri,
karena kau tak perlu berusaha merayuku ketika aku marah dan mendiamkanmu,
karena aku tak bisa marah dan mendiamkanmu. Tapi aku rela. Aku rela kau sakiti.
Aku rela kau marahi dan kau diamkan. Bukankah cinta memang perlu pengorbanan?
Aku rela, karena aku telah memilih untuk mencintaimu dengan segala resiko yang
akan Tuhan berikan kepadaku. Aku tak mau merubah apapun dari dirimu, aku juga
tak mau mencuri apapun darimu, aku hanya ingin kita akan terus menjadi kita.”,
ulasku lalu memeluknya yang tak kusadari sedang berlinang air mata.
Setahun
sudah wanita ini menjadi bagian spesial dalam hidupku. Selama itu pula aku,
tidak, maksudku kami harus tegar menghadapi segala kerikil yang Tuhan berikan
untuk menguji kami. Aku seseorang yang percaya takdir, jadi, jika kita memang
ditakdirkan untuk terus bersama aku yakin ini akan terasa mudah.
Untuk yang tercinta,
Cinta
Empat Kata dari Ayah
Tujuh belas tahun yang
lalu, tepat tanggal 11 Desember 1998, seorang bayi perempuan terlahir ke dunia.
Ia tumbuh dewasa dengan penuh cinta, juga penuh air mata.
Aku
Ayah menghadiahiku
sebuah nama yang indah, nama yang penuh makna, nama yang berisi doa dari mereka
yang menyayangiku. Hingga saking baiknya, aku merasa sedikit terbebani
menyandang nama ini.
Derina Anindya Hafidha
Puteri
Empat kata yang
memiliki filosofi di setiap hurufnya. Derina berasal dari kata “darina” artinya
“nama sebuah bunga”. Mungkin ayah dan ibu ingin aku tumbuh menjadi wanita yang
elok seperti bunga. Wanita yang masih menebar harum, tak terkecuali kepada
orang yang mematahkan tangkainya.
Lalu kenapa jadi
Derina? Karena aku lahir di bulan Desember. Jadi, aku setangkai bunga desember?
hahaha
Anindya. Kata kedua
dalam namaku ini berarti pemelihara. Aku tak tahu, tapi mungkin ini sebabnya
aku sangat suka hewan, tumbuhan, dan anak anak.
Hafidha. Hafidha
berarti pandai menghafal. Aku percaya, terselip doa dari kedua orang tuaku agar
aku menjadi anak yang cerdas. Dan kata terakhir, Puteri, tentu saja karena aku
seorang gadis.
Indah bukan hadiah yang
ayah berikan kepadaku? Seorang anak perempuan seperti bunga yang lahir pada
bulan Desember, seorang pemelihara dan pandai menghafal.
Berkat nama yang ayah
berikan, aku tumbuh menjadi gadis Sagitarius yang tangguh. Gadis Sagitarius
yang pandai menyembunyikan kesedihannya. Gadis Sagitarius yang Insyaallah akan
menjadi pemelihara yang cerdas, seperti yang orangtuaku inginkan.
Terimakasih Ayah
Kamis, 10 Desember 2015
17
Untaian kalimat ini ku tulis sebulan sebelum usiaku bertambah digit lagi. Sebulan sebelum aku genap 17 tahun mencicipi berjuta rasa kehidupan. Mungkin kau menilai ini terlalu cepat untuk menuliskan sesuatu tentang ulangtahunku yang masih sebulan lagi. Tapi kali ini, aku hanya ingin bercerita tentang kado terindah yang telah Allah berikan padaku, bahkan sebelum aku meniup satupun lilin ulangtahunku. Bukan maksudku untuk mendahului, tapi aku hanya takut jika kado ini tak bertahan lama, lalu menghilang sebelum aku sempat berterimakasih kepadanya.
Tahun ini terasa istimewa— karena tanpa sengaja kau datang. Dengan awal tak terduga, hingga berakhir dengan perasaan aneh yang bahkan telah samar di memoriku. Terimakasih, kau berhasil mengembalikannya ke ingatanku. Walaupun dengan goresan dan luka karena berjuang menyebrangi ranjau deminya.
Hari ini ku rajut semua kata kata ini dengan air mata— sungguh. Tengah malam tiba tiba terlintas untuk mempersembahkan sesuatu untukmu di hari ulangtahunku nanti. Ku tulis sekarang karena aku takut Allah tak lama menitipkanmu untuk tertawa bersamaku.
Masih teringat pertama kali kau menghubungiku, takut. Ya, entah mengapa aku begitu takut saat itu. Butuh waktu beberapa menit hanya untuk menjawab pertanyaan yang kau lontarkan kepadaku. "Aku harus jawab apa?" "Apa bahasaku terlalu baku?" "Ah, kenapa terlihat tidak sopan?", aku terus bertanya hal hal bodoh pada diriku sendiri. Hingga semua itu selalu berakhir dengan jawabanku yang seadanya. Lalu tiba tiba kau mengejutkanku dengan langsung berkata "kamu jutek" padaku. Namun dengan sabar kau selalu mencari cari topik untuk kita bicarakan. Hingga entah bagaimana caranya, kami mulai berani untuk bertemu.
Awal pertemuan kami dihiasi dengan kesunyian. Maaf karena aku yang hanya bisa diam dan menunduk saat itu. Saat itu pertama kalinya aku mendengar suaramu secara langsung, dengan jarak tak sampai satu meter dari gendang telingaku. Saat itulah perasaan ini mulai memberontak dan mencoba keluar dari persembunyiannya. Aku masih mengingat bagaimana diriku yang salah tingkah saat berhadapan denganmu. Mungkin kau juga masih ingat betapa konyolnya diriku yang harus berada di belakangmu untuk menutupi kegugupan, dan— wajah "kepitingrebus" ku.
Setelah hari itu, kami makin sering bertemu. Dan seiring berjalannya waktu, aku juga mulai terbiasa. Terbiasa dengan suaranya, terbiasa berbicara dengannya, terbiasa melihat wajahnya, dan terbiasa menghadapi segala tatapan sinis dan juga omongan negatif tentangnya. Kami juga mulai terbiasa menyebut "kita" dalam obrolan kami. Dan aku, makin tak bisa mengendalikan perasaan ini, saat untuk pertama kalinya merasakan genggaman tangannya. Nyaman. Hangat. Menenangkan. Tautan jemarinya telah berhasil menjadi favoritku.
Aku selalu tersenyum saat dia menjelaskan tentang berbagai kisahnya agar aku tak salahpaham. Aku memang cemburu setelah mendengar semua penjelasannya, namun ada hal yang selalu membuatku melupakan segala kecemburuan itu.
Aku sempat berpikir bahwa aku hanyalah seorang monster yang tiba tiba masuk ke dalam kehidupanmu dan merebutmu dari mereka yang masih mencintaimu. Namun satu kalimat dari sahabatku membuatku tersadar.
"Kamu bertemu dengannya itu kehendak Allah, lagipula kau tak pernah berniat merebutnya dari siapapun."
Terimakasih telah menjadi kado terindah diulang tahunku ini.
Yang jelas— Aku berharap, saat kau membaca ini, kita masih saling tertawa bersama.
Mojokerto, 11 November 2015
Tahun ini terasa istimewa— karena tanpa sengaja kau datang. Dengan awal tak terduga, hingga berakhir dengan perasaan aneh yang bahkan telah samar di memoriku. Terimakasih, kau berhasil mengembalikannya ke ingatanku. Walaupun dengan goresan dan luka karena berjuang menyebrangi ranjau deminya.
Hari ini ku rajut semua kata kata ini dengan air mata— sungguh. Tengah malam tiba tiba terlintas untuk mempersembahkan sesuatu untukmu di hari ulangtahunku nanti. Ku tulis sekarang karena aku takut Allah tak lama menitipkanmu untuk tertawa bersamaku.
Masih teringat pertama kali kau menghubungiku, takut. Ya, entah mengapa aku begitu takut saat itu. Butuh waktu beberapa menit hanya untuk menjawab pertanyaan yang kau lontarkan kepadaku. "Aku harus jawab apa?" "Apa bahasaku terlalu baku?" "Ah, kenapa terlihat tidak sopan?", aku terus bertanya hal hal bodoh pada diriku sendiri. Hingga semua itu selalu berakhir dengan jawabanku yang seadanya. Lalu tiba tiba kau mengejutkanku dengan langsung berkata "kamu jutek" padaku. Namun dengan sabar kau selalu mencari cari topik untuk kita bicarakan. Hingga entah bagaimana caranya, kami mulai berani untuk bertemu.
Awal pertemuan kami dihiasi dengan kesunyian. Maaf karena aku yang hanya bisa diam dan menunduk saat itu. Saat itu pertama kalinya aku mendengar suaramu secara langsung, dengan jarak tak sampai satu meter dari gendang telingaku. Saat itulah perasaan ini mulai memberontak dan mencoba keluar dari persembunyiannya. Aku masih mengingat bagaimana diriku yang salah tingkah saat berhadapan denganmu. Mungkin kau juga masih ingat betapa konyolnya diriku yang harus berada di belakangmu untuk menutupi kegugupan, dan— wajah "kepitingrebus" ku.
Setelah hari itu, kami makin sering bertemu. Dan seiring berjalannya waktu, aku juga mulai terbiasa. Terbiasa dengan suaranya, terbiasa berbicara dengannya, terbiasa melihat wajahnya, dan terbiasa menghadapi segala tatapan sinis dan juga omongan negatif tentangnya. Kami juga mulai terbiasa menyebut "kita" dalam obrolan kami. Dan aku, makin tak bisa mengendalikan perasaan ini, saat untuk pertama kalinya merasakan genggaman tangannya. Nyaman. Hangat. Menenangkan. Tautan jemarinya telah berhasil menjadi favoritku.
Aku selalu tersenyum saat dia menjelaskan tentang berbagai kisahnya agar aku tak salahpaham. Aku memang cemburu setelah mendengar semua penjelasannya, namun ada hal yang selalu membuatku melupakan segala kecemburuan itu.
Aku sempat berpikir bahwa aku hanyalah seorang monster yang tiba tiba masuk ke dalam kehidupanmu dan merebutmu dari mereka yang masih mencintaimu. Namun satu kalimat dari sahabatku membuatku tersadar.
"Kamu bertemu dengannya itu kehendak Allah, lagipula kau tak pernah berniat merebutnya dari siapapun."
Terimakasih telah menjadi kado terindah diulang tahunku ini.
Yang jelas— Aku berharap, saat kau membaca ini, kita masih saling tertawa bersama.
Mojokerto, 11 November 2015
Sabtu, 05 Desember 2015
Gadis Kepiting Rebus
Hei gadis, wajahmu memerah lagi.
Tiba tiba ia teringat saat pertama kali ia menyebut nama prianya. Masih terasa tabu di pendengarannya sendiri. Hingga detik terus bergulir bersama musim panas yang mulai tersapa hujan. Sang gadis mulai terbiasa menyebut nama prianya, bahkan tak sadar ia mulai bercerita tentang prianya dengan menggebu, senyum merekah, dan wajah bahagia.
Suatu hari, mereka akhirnya bertemu, dengan kesenyapan yang terus muncul di antara pembicaraan kecil mereka. Gadis itu bahkan tak bisa berucap, apalagi menatap bola mata atau sekedar memandang wajah sang pria. Masih dengan kepala tertunduk dan pipi merona, mereka terus berbicara- maksudku, berdiri dan diam mencari topik pembicaraan yang akhirnya akan tetap terasa aneh bagi mereka. Tak lupa, tatapan sembunyi sembunyi dari orang di dekatnya ikut menambah suasana aneh siang itu. Pertemuan pertama mereka sukses membuat sang gadis semakin bertanya tanya. Sebenarnya aku dan dia itu apa dan akan jadi apa? Sang gadis mulai berani membayangkan wajah prianya, lalu merangkai drama kehidupannya sendiri dengan imajinasi liarnya yang sulit dikendalikan, tak lupa diselingi senyum kecil dan wajah merah yang terus muncul tanpa sadar.
Mereka semakin dekat, hingga sang gadis mulai terbiasa menatapnya dan mendengar nyanyian yang berpadu dengan tiap melodi yang dimainkan prianya. Semua komponen di prianya membuat sang gadis buta, semua itu telah menjadi favoritnya. Semua itu berhasil membuatnya seperti kepiting rebus saat berdekatan dengan prianya.
Namun hal favoritnya yang terakhir adalah hal baru yang berhasil membuat hati nya bergetar, jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya kembali memerah bahkan hanya dengan membayangkannya.
Genggaman tangan sang pria.
Tautan jemarinya yang hangat selalu membuat sang gadis salah tingkah dan membisu. Genggamannya selalu berhasil membawa ketenangan dan meredam setiap kemarahan.
Kau memerah lagi gadis! Lihat, bahkan kau hanya membayangkannya, dan wajahmu sekarang lebih merah dari kepiting rebus!
Teruntuk pria sang gadis.
Tiba tiba ia teringat saat pertama kali ia menyebut nama prianya. Masih terasa tabu di pendengarannya sendiri. Hingga detik terus bergulir bersama musim panas yang mulai tersapa hujan. Sang gadis mulai terbiasa menyebut nama prianya, bahkan tak sadar ia mulai bercerita tentang prianya dengan menggebu, senyum merekah, dan wajah bahagia.
Suatu hari, mereka akhirnya bertemu, dengan kesenyapan yang terus muncul di antara pembicaraan kecil mereka. Gadis itu bahkan tak bisa berucap, apalagi menatap bola mata atau sekedar memandang wajah sang pria. Masih dengan kepala tertunduk dan pipi merona, mereka terus berbicara- maksudku, berdiri dan diam mencari topik pembicaraan yang akhirnya akan tetap terasa aneh bagi mereka. Tak lupa, tatapan sembunyi sembunyi dari orang di dekatnya ikut menambah suasana aneh siang itu. Pertemuan pertama mereka sukses membuat sang gadis semakin bertanya tanya. Sebenarnya aku dan dia itu apa dan akan jadi apa? Sang gadis mulai berani membayangkan wajah prianya, lalu merangkai drama kehidupannya sendiri dengan imajinasi liarnya yang sulit dikendalikan, tak lupa diselingi senyum kecil dan wajah merah yang terus muncul tanpa sadar.
Mereka semakin dekat, hingga sang gadis mulai terbiasa menatapnya dan mendengar nyanyian yang berpadu dengan tiap melodi yang dimainkan prianya. Semua komponen di prianya membuat sang gadis buta, semua itu telah menjadi favoritnya. Semua itu berhasil membuatnya seperti kepiting rebus saat berdekatan dengan prianya.
Namun hal favoritnya yang terakhir adalah hal baru yang berhasil membuat hati nya bergetar, jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya kembali memerah bahkan hanya dengan membayangkannya.
Genggaman tangan sang pria.
Tautan jemarinya yang hangat selalu membuat sang gadis salah tingkah dan membisu. Genggamannya selalu berhasil membawa ketenangan dan meredam setiap kemarahan.
Kau memerah lagi gadis! Lihat, bahkan kau hanya membayangkannya, dan wajahmu sekarang lebih merah dari kepiting rebus!
Teruntuk pria sang gadis.
Langganan:
Postingan (Atom)