Kamis, 10 Desember 2015

17

Untaian kalimat ini ku tulis sebulan sebelum usiaku bertambah digit lagi. Sebulan sebelum aku genap 17 tahun mencicipi berjuta rasa kehidupan. Mungkin kau menilai ini terlalu cepat untuk menuliskan sesuatu tentang ulangtahunku yang masih sebulan lagi. Tapi kali ini, aku hanya ingin bercerita tentang kado terindah yang telah Allah berikan padaku, bahkan sebelum aku meniup satupun lilin ulangtahunku. Bukan maksudku untuk mendahului, tapi aku hanya takut jika kado ini tak bertahan lama, lalu menghilang sebelum aku sempat berterimakasih kepadanya.

Tahun ini terasa istimewa— karena tanpa sengaja kau datang. Dengan awal tak terduga, hingga berakhir dengan perasaan aneh yang bahkan telah samar di memoriku. Terimakasih, kau berhasil mengembalikannya ke ingatanku. Walaupun dengan goresan dan luka karena berjuang menyebrangi ranjau deminya.
Hari ini ku rajut semua kata kata ini dengan air mata— sungguh. Tengah malam tiba tiba terlintas untuk mempersembahkan sesuatu untukmu di hari ulangtahunku nanti. Ku tulis sekarang karena aku takut Allah tak lama menitipkanmu untuk tertawa bersamaku.

Masih teringat pertama kali kau menghubungiku, takut. Ya, entah mengapa aku begitu takut saat itu. Butuh waktu beberapa menit hanya untuk menjawab pertanyaan yang kau lontarkan kepadaku. "Aku harus jawab apa?" "Apa bahasaku terlalu baku?" "Ah, kenapa terlihat tidak sopan?", aku terus bertanya hal hal bodoh pada diriku sendiri. Hingga semua itu selalu berakhir dengan jawabanku yang seadanya. Lalu tiba tiba kau mengejutkanku dengan langsung berkata "kamu jutek" padaku. Namun dengan sabar kau selalu mencari cari topik untuk kita bicarakan. Hingga entah bagaimana caranya, kami mulai berani untuk bertemu.

Awal pertemuan kami dihiasi dengan kesunyian. Maaf karena aku yang hanya bisa diam dan menunduk saat itu. Saat itu pertama kalinya aku mendengar suaramu secara langsung, dengan jarak tak sampai satu meter dari gendang telingaku. Saat itulah perasaan ini mulai memberontak dan mencoba keluar dari persembunyiannya. Aku masih mengingat bagaimana diriku yang salah tingkah saat berhadapan denganmu. Mungkin kau juga masih ingat betapa konyolnya diriku yang harus berada di belakangmu untuk menutupi kegugupan, dan— wajah "kepitingrebus" ku.

Setelah hari itu, kami makin sering bertemu. Dan seiring berjalannya waktu, aku juga mulai terbiasa. Terbiasa dengan suaranya, terbiasa berbicara dengannya, terbiasa melihat wajahnya, dan terbiasa menghadapi segala tatapan sinis dan juga omongan negatif tentangnya. Kami juga mulai terbiasa menyebut "kita" dalam obrolan kami. Dan aku, makin tak bisa mengendalikan perasaan ini, saat untuk pertama kalinya merasakan genggaman tangannya. Nyaman. Hangat. Menenangkan. Tautan jemarinya telah berhasil menjadi favoritku.

Aku selalu tersenyum saat dia menjelaskan tentang berbagai kisahnya agar aku tak salahpaham. Aku memang cemburu setelah mendengar semua penjelasannya, namun ada hal yang selalu  membuatku melupakan segala kecemburuan itu.

Aku sempat berpikir bahwa aku hanyalah seorang monster yang tiba tiba masuk ke dalam kehidupanmu dan merebutmu dari mereka yang masih mencintaimu. Namun satu kalimat dari sahabatku membuatku tersadar.
"Kamu bertemu dengannya itu kehendak Allah, lagipula kau tak pernah berniat merebutnya dari siapapun."

Terimakasih telah menjadi kado terindah diulang tahunku ini.
Yang jelas— Aku berharap, saat kau membaca ini, kita masih saling tertawa bersama.



Mojokerto, 11 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar